Mengembalikan Bung Tomo
di 7 Oktober
Rasa-rasanya hari itu jutaan
manusia masih menjalankan rukun yang sama. Berkumpul menunjukkan kesatuan,
menyerahkan kesungguhan atas seruan yang telah berlaku dari zaman ke zaman. Wukuf
di arafah menjadi altar terakhir tamu-tamu
Allah sebagaimana yang di gariskan baginda rasulullah SAW beribu-ribu tahun
lamanya. Syahdu dan haru bertelakan mengantar lencana kemabruran menuju bagian
terdalam jiwa-jiwa jamaah haji yang tak terhitung lagi jumlahnya. Semua melebur
dalam komando yang satu. Seolah bisul ashobiyah
telah pecah, mengeluarkan lendir busuk nasionalisme agar terdekonstruksi kembali.
Menata ulang jaringan batiniah dan fikrul islamiyah yang sesungguhnya, menuju
apa yang sudah sering di dengung-dengungkan: one vision, one mission, one nation. ISLAM. Sebuah realitas
kesatuan yang di inginkan rasul agar terefleksi dalam kancah kehidupan umat.
Kesatuan utuh yang hanya akan tercipta dalam bingkai daulah khilafah islamiyah,
insya allah!
Telah tercatat di lembaran kisah-kisah
heroik, pekikkan takbir bung Tomo menantang bedil tentara KNIl tak jauh dari
pelabuhan merak, Surabaya. Berbondong-bondong pemuda maju membopong ujung
teriakan “Allahu akbar” yang
diperdengarkannya. Semangat menerjang lautan keserakahan penjajah, tak
terbendung lagi. KNIL ciut nyali, episode perjuangan akhirnya berbuah manis di
tangan mereka Arek-arek suroboyo.
Kisah hidup sang ikon pembebasan pun mengulur. Hingga suatu ketika, disaat
hentak kaki jamaah haji masih terekam dalam catatan pahala, saat itu pula ada
naunsa tak biasa di sudut yang lain. Ada hembus nafas yang berbeda. Ada lafadz
syahadah yang terbata. Di sela frekuensi maha dahsyat pekikan jamaah daratan
mina itulah, seorang anak manusia telah selesai menuliskan sejarah hidupnya.
Mempersembahkan bait-bait pertaubatan nasuha
yang jarang orang akan temui, sebab tiadalah mudah wafat di bumi yang
penuh dengan wangi darah para syuhada. Hanya orang-orang yang layak menemani merekalah
yang akan berpulang di tempat ini. 9 dzulhijah 1401 H bertepatan 7 oktober
1981. Saat dzuhur masih menggantung, pahlawan November itu benar-benar memenuhi
panggilan ilahi. Detik-detik sejarah mengabadikan berpulangnya Bung Tomo di padang arafah.
30 tahun berselang, rupanya bung
tomo masih disini. Senantiasa menempatkan diri di antara huruf-huruf
kebangkitan ala mahasiswa. Bertahun-tahun tak pernah alpa mengisi tema-tema
seminar anak negeri. Terpampang di
baliho, poster, spanduk, hingga artikel padat bertabur fakta perjuangan.
Kenyataan yang seharusnya membuat kita malu, sebab negeri yang pernah merekam
jejak pengorbanannya itu sungguh tak tahu malu. tak jua lekas menunjukkan
tanda-tanda kebangkitan. Hari ke hari negeri ini makin terpuruk. kasus demi
kasus melesat ke layar kaca serupa babakan dalam cerita pewayangan. Tiada jeda,
sehingga melebarnya jurang ketidakpercayaan rakyat pada gerombolan kurawa bertopengkan
pandawa pun tak terelakkan. Sekiranya
kurawa-kurawa itu tidak pandai memainkan sisi pandawanya dalam hal menyelipkan
amplop-amplop biru dan meramu jargon-jargon super kreatif persiapan pemilu,
maka akan sulit kita temukan kantong massa yang rela merendahkan kualitas
hidupnya di bawah pantofel orang-orang berdasi itu. Tapi sayang sungguh sayang, lagi-lagi hal semacam ini sudah terlanjur berubah budaya
dalam masyarakat yang serba berpacu menyelamatkan diri dari gilasan roda
kapitalisme. Semua punya alibi untuk yang satu ini. Akhirnya, bingo! rakyat
mudah terjungkal di kubangan hitam tipu daya muslihat sementara gerombolan
minoritas kelas atas pandai sangat memanfaatkan keadaan. Dan bohonglah rasanya
jika kelas penguasa tidak merasakan hadirnya realitas lain di saat-saat begini.
Mereka yang terbahak begitu hebat melihat lelucon ini adalah barisan imperialis
asing yang memanfaatkan komprador berwajahkan pribumi. Mereka selalu setia, siap
sedia mengibarkan panji kolonialisme dalam rangka menggilaskan kembali roda
kapitalisme di setiap inci wajah ibu pertiwi.